keep your dream, hold it tight

terjatuh itu wajar, namun jangan terlalu lama tersungkur. berjalanlah walau harus tertatih :)

Rabu, 04 Januari 2012

I am A Teenager: Tanah Yang Dijanjikan

I am A Teenager: Tanah Yang Dijanjikan

Tanah Yang Dijanjikan

Tanah Yang Dijanjikan

Nina minawati Muhaemin



          Terkadang aku berharap tak dapat melihat mentari terbit. Kadang aku bosan mendengar degup jantungku. Kadang aku berharap aku lupa untuk bernafas------ Kini jalanku telah tertatih, tak mampu lagi berlari mengejar angin, menangkap kebahagiaan. Hidup dalam baying-bayang kelatian yang belum jua menjemputku.

            Selalu terlintas dalam benakku, untuk apa aku hidup? Untuk merasakan kepedihankah? Atau untuk menghitung mayat-mayat yang semakin hari semakin bertambahkah? Atau untuk mendengar jeritan-jeritan penderitaankah? Kurasa ini bukan pertanyaan, namun sebuah kenyatahan yang harus ku TELAN.

            Tak terasa telah 1 bulan aku berada di Libanon. Tak terasa…, ya memang tak terasa, karena mungkin sekarang aku terlah mati rasa. Libanon, bermil-mil jauh dari padang gersangku : GAZA. Mungkin kau bertanya, bagaimana aku bias berada disini---- Ini adalah cerita yang panjang.

            Semua berawal ketika aku dibawa oleh seorang relawan China pasca agresi yang dilakunkan para Zionis atas wilayahku : Gaza. Ia seorang pria tinggi, putih, dan mempunyai mata yang nyaris tertutup. Ia dating ketika aku duduk bersimpuh di depan mayat adikku, Ridwan. Dengan segera lelaki China itu membawaku yang tak henti-hentinya menangis.Aku dibawanya ke tempat yang penuh akan tenda-tenda besar. Disana ada sekumpulan wartawan dari berbagai Negara. Kadang aku berfikir, untuk apa mereka kesini? Untuk sebuah berita besarkah? Atau untuk menghampiri kematian mereka sendiri? Aku tak mengerti.

            Aku melihat ada banyak orang sebangsaku : tua, muda, anak-anak, dewasa, mereka berkumpul disana dengan situasi dan kondisi yang berbeda-beda, yang sangat ku tahu tak ada satupun dari merekan berada dalam keadaan yang baik.

            Pemuda China itu terus membawaku melewati beberapa tenda yang penuh oleh orang-orang Palestina. Diantara mereka, ada yang memperhatikanku dan ada juga yang gundah gulana sendiri. Kami berhenti tepat di depan sebuah tenda besat berwarna kuning keemasan. Dari dalam keluar seorang gadis cantik berambut lurus panjang, warnanya hitam nan berkilau : begitu indah. Dalam sedetik aku dapat mengetahuii bahwa wanita cantik itupun adalah orang China : mereka mempunyai mata yang hamper tertutup. Kadang aku bertanya, apakah mereka dapat melihat dengan jelas? Hanya mereka yang tahu. Si lelaki yang baru ku tahu namanya adalah Yuo Eun berbicara dengan wanita itu yang dipanggil Shin oleh You, mereka berbincang dengan bahasa tang kosakatanya tak ku mengerti sedikitpun. Dalam percakapan Shin, memandangku, matanya terus bergantian antara memandangku dan Yuo. Aku bias membaca tulisan besar yang tersirat di dalam mata Shin yang sedang melihatku : IBA, itu membuatku cukup mengerti bahwa mereka sedang membicarakanku. Bukan….., bukan membicarakanku, melainkan membicarakan kemalanganku.

“I’m so sorry for you!!” Ucap Shin, menatapku iba.

sedikit mengejutkanku karena tanpa sadar aku menyimak pembicaraan kedua orang China itu (meskipun ku tak mengerti). Aku bias merasakan ada tulisan besar yang terpampang di keningku : AKU SEDANG FRUSTASI. Terlalu lemah bagiku untuk membalas ucapan Shin.

“I promise you’ll gonna save here..” Lanjut Shin sambil membawaku ke dalam terda. Itulah pertamakali aku menginjakkan kakiku di tempat pengungsian.



***



Ini dalah sebuah kisah kelam diantara kekelaman dalam hidupku. Bagaimana aku bias berada jauh dari Negeriku : bagaimana aku bias berada di Libanon, di sini di tempat aku berdiri. Gaza…., bukan…, bukan Gaza, tepatnya Palestine apa kabarmu?

            Saat itu pengungsian adalah tempat yang aman bagiku untuk berlindung. Menghabiskan siang hari membantu para ibu memasak, merawat orang yang terluka, dan mendengaarkan cerita kelam mereka. Ketika malam aku lebih suka berada di tengah-tegah anak kecil, ya.., sedikit mengobati kerinduanku pada adikku, Ridwan. Aku menceritakan kepada mereka tentang sebuah negeri yang aman, damai , dan terntam, yang entah apakah memang benar-benar ada? Aku sangat berbakat dalam hal bercerita tentang keindaha, kedamaian, kebahagiaan, dan cinta, karena hal itulah yang sering kupikirkan bagaimana rupanya.

            Anak-anak itu…, yang tak berdosa, yang tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Senyum mereka bagai mentari yang terbit di pagi hari : begitu indah. Entah apa yang berada di kepala malaikat-malaikat kecil itu, yang ku tahu ada kerinduan di mata mereka, kerinduan yang mendalam akan sebuah : KEDAMAIAN. Sesekali ceritaku terhenti kala terdengar bunyi dentuman yang mengejutkan. Aku heran, bahkan mereka tak ketakutan sedikitpun, Allah pasti telah menguatkan hati mereka sedemikian rupa. Mereka selalu bias tersenyum bagaimanapun caranya. Sedikitpun tak ku dengar keluh kesah dari bibir mungil mereka, berbeda denganku yang terkadang lupa untuk bersyukur, astagfirullah…., ampuni hamba-Mu ini Ya… Allah.

           

***

           

Pagi-pagi sekali aku melihat anak-anak berkumpul di tempat dimana aku biasa bercerita. Mereka membentuk sebuah lingkarang dengan seorang pemuda di tengah-tengah mereka. Ternyata itu Traver, relawan asal Amerika. Ia begitu terlihat serius dalam ceritanya, hebatnya ia begitu fasih bahasa kami. Aku mendekat dan ikut menyimak, 5 meter jauhnya dari mereka.

“aku yakin kalian tidak tahu perbedaan antara Yahudi, Zionis dan Israel…” Ujar Taver yakin.

“Mereka sama…., sama-sama penjajah!!!” teriak seorang pemuda dari belakang, ya…, terdengar kesal dan marah.

Traver tidak menghirauka pemuda itu dan ia melanjutkan perkataannya. “Yahudi adalah   nama atau sebutan untuk bangsa yang merupakan keturunan Israel, nama lain nabi Yakub.AS. Nama Yahudi sendiri berasal dari salah seorang putra nabi Yakub yang bernama Yahuda. Sedangkan Zionis itu adalah ideology dan gerakkan yang pertama kali dicetuskan oleh Theodor Herzl. Kata Zionis diambil dari kata ‘Zion’ yang merupaka salah satu bukit di ‘tanah yang dijanjikan’. Gerakan ini menghimpun semua bangsa Yahudi untuk kembali berkumpul, bahkan…., bahkan…,” Traver terhenti dalam ceritanya, ia tertunduk dan menutup matanya.

“Ayo….!!! Lanjutkan!!” Sahut seorang bocah kecil yang duduk di samping kirinya.

            Traver kembali mengangkat kepalanya, dan sekarang matanya tertuju pada bocah kecil yang ada di sampingnya. Dengan segera ia menmangku bocah kecil itu dan mendudukkannya di pangkuan.

“Hey…., Aisyah, what is he doing over there?” Yuo Eun tiba0tiba berada di sampingku yang cukup mengagetkanku.

“Hey…, Yuo. Traver, he’s telling a story to these Child…” jawabku berusaha menyimpan rasa kagetku.

“Bahkan……, bahkan…., dengan menginjak-injak dimensi kemanusiaan Negara lain.” Akhirnya Traver melanjutkan kata-katanya, dengan senyum yang lebih mirip dengan ekspresi menakut-nakuti, terlalu dipaksakan menurutku.

“Sementara Israel merupakan Negara yang bukan Negara, karena mencaplok wilayah Palestina dengan berlindung di balik tameng sejarah dan religi.” Traver mengakhiri ucapannya.

            Zion? Tanah yang dijanjikan?. Semuanya mengiang-ngiang di kepalaku. Aku berusaha diam menutupi rasa penasaranku. Sebenarnya aku tidak nyaman dengan Yuo berada di sampingku, apa yang ia lakukan, mendengarkan ratusan kosa kata yang ia tak mengerti sedikitpun : bagus sekali.



***



            Malam semakin dingin, sementara desiran angina terus menghujam, membangunkanku dari lamunan panjang, ingatkanku pada dosa yang telah kulakukan. Ya…, Rob ikhlaskan hati dan jiwaku menerima cobaan-Mu agar aku yahin akan cinta-Mu  yang abadi di dunis ysng fana ini.

“Ternyata kau memiliki stok air mata yang banyak, Aisyah!” Sahut sebuah suara yang tiba-tiba muncul dari arah samping kiriku, yang cukup mengejutkanku. Ternyata Traver, ternyata ia sangat tinggi, mungkin 183 cm. wajahnya putih, sehingga aku bias melihatnya meskipun dibawah cahaya bulan yang remang-remang. Dalam sedetik ku melihat mata birunya menyala di tengah kegelapan : begitu indah. Aku menengok ke arahnya sebentar dan kembali menaruh pandanganku kedepan. Entah apa yang kulihat diantara warna hitan malam, mungkin lampu-lampu rumah yang berwarna-warni.

“Apa yang sedang kau lakukan disini, menyendiri? Ini malam yang dingin, you know??” lanjutnya.

“Aku sedang menikmati malam yang tenang.” Jawabku, sedikit dibuat-buat. Refleks dating dari kakiku, dengan spontan aku melangkahkan kakiku kearah kanan, menurutku 1 meter adalah jarak yang cukup aman antara aku dan Traver.

            Dilihat dari jarak 1 meter, Traver terlihat seperti orang arab, hidungnya, alisnya bibirnya,. Yang membuatnya tampak seperti orang amerika adalah warna mata, rambut dan kulitnya saja. Mungkin ia blasteran, mungkin.

“Dan kau…, apa yang kau lakukan disini?” Tanyaku yang lebih mirip seperti sebuah introgasi.

“Sama sepertimu. Menikmati malam yang tenang.” Jawab pria kekar itu, mencontek kata-kataku.

            Penampilannya begitu tenang dan cool. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket kulitnya yang terlihat sangat mahal. Tunggu…., aku menangkap sebuah kerutan di dahinya yang tidak bias menyembunyikan bahwa ia sedang dalam keadaan gelisah. Tapi aku coba tidak memikirkannya, bagiku itu adalah urusannya.

“Hmm…, lagi-lagi gencatan senjata” Ucap Traver memecah keheningan antara kami.

“Hmmm…, ya, setelah saling serang, apa mereka piker ini sebuah permainan?” Jawabku agak geram.

“ya, benar. Aku tak mengerti. Pertama, Hamas mengitimkan roket menuju Israel” tambahnya.

“lalu Zionis itu membalas dengan melancarkan serangan udara yang disebut Operation Cast Lead” Tambahku lagi.

“dan setelah hal besar itu mereka menyatakan gencatan senjata” ucap Traver, sementara matanya menerawang entah kemana. “Aku tidak pernah bias mengerti akan taktik mereka, aku tidak pernah bias membaca pkiran mereka, apa yang sedang zionis-zionis itu persiapkan dalam gencatan ini. Arrrgghhh….!!!” Traver terlihat frustasi, ia berjongkok dengan posisi tangan yang mengacak-acak rambutnya sendiri, ya suatu ekspresi yang bagiku tak perlu ia lakukan.

            Aku teringat kembali akan kata-kata yang ia ucaokan pagi tadi, tentang tanah yang dijanjikan, dan akupun penasaran bagaimana bisa ia begitu fasih berbahasa kami.

“Traver…., emmm, aku ingin menanyakan sesuatu padamu” tanyaku padanya sambil ikut berjongkok sepertinya.

“Apa? Katakana saja!” jawabnya sambil membereskan kembali rambutnya.

“Apa yang kau maksud dengan ‘tahan yang dijanjikan’?” tanyaku padanya, memcoba memastikan aku tidak terlihat bodoh.

“hahahahahaa…, kau membuatku geli. Bagaimana kau tidak bias tahu itu? Kau penduduk asli Palestina kan?” dia menertawaiku seolah-olah ini semua memang lucu.

“Aku benar-benar tidak tahu!!” aku merasa nada bicaraku meninggi, atau bias dikatakan menutupi wajahku yang terlihat sangat bodoh.

“Kau benar-benar tak tahu dan ingin tahu?” jawabnya sambil menatap mataku lekat-lekat.

“Ya…, dank au tahu menatap seorang wanita yang bukan muhrim seperti itu tidaklah sopan!!!” jawabku sambil berdiri kembali.

“Upss, sorry. Baiklah akan kuceritakan.” Ujarnya dan terduduk diatas pasir. Suasana hening sejenak, Traver tak juga membuka mulutnya, ia malah tersenyum yang menunjukkan lesung pipit di pipinya. Ia melihat kearahku yang mulai kesal.

“Baiklah…., ‘Zionisme’ berasal dari kata Ibrani “zion” yang artinya karang. Maksudnya merujuk kepada batu bangunan Haykal Sulaiman yang didirikan di atas sebuah bukit karang bernama ‘Zion’, terletak di sebelah barat-daya Al-Quds atau Jerusalem. Bukit Zion ini menempati kedudukan penting dalam agama Yahudi, karena menurut Taurat, “Al-Masih yang dijanjikan akan menuntun kaum Yahudi memasuki ‘Tanah yang Dijanjikan’. Dan Al-Masih akan memerintah dari atas puncak bukit Zion”. Zion dikemudian hari diidentikkan dengan kota suci Jerusalem itu sendiri. Jelas??” Ia menjelaskan panjang lebar, hebat ia berwawasan luas.

            Traver begitu haval dengan nama-nama daeerah di Gaza, ia fasih berbahasa kami, ia tahu seluk beluk tentang kami, bahkan ia lebih banyak tahu tentang zionis, seperti ia begitu mengenal bahkan akrab dengan ideology orang Yahudi itu. Padahal ia adalah orang barat, Amerika. Sedikit tidak aneh karena di Amerika banyak sekali orang Yahudi.

“Lalu.., bagaimana bisa kau begitu fasih menggunakan bahasa kami? ” tanyaku lagi.

“karena aku pintar!!” jawabnya singkat sambil berdiri dan pergi.



***

            Kini aku telah berada di Libanon, aku memanfaatkan masa-masa gencatan senjata untuk cepat-cepat keluar dari tanah kelahiranku, meskipun itu berat. Aku membawa Zara bersamaku, ia adalah anak yatim piatu, di pengungsian ia begitu dekat denganku dan aku menganggapnya adikku sendiri.

            Traver, ternyata ia adalah mantan zionis yang menjadi buronan para zionis. Traver tertangkap ketika ia sedang berada di Jerussalem, saat itu ia telah menjadi mualaf, dan dibunuh di tempat. Raver yang malang, semoga Allah melindungimu. Amin.

            Sang Zionis masih sangat geram, bahkan sangat geram. Ada sesuatu yang Traver ambil dari mereka (Zionis) yang telah Traver berikan kepada Hamas. Apapun hal itu, semoga akan membawakemenangan bagi kami. Dan satu hal lagi, Traver telah mengubah namanya menjadi Ahmad Ali Yusuf, nama yang indah seperi orangnya.

            Ada hal yang tidak bisa ku lupakan dari Traver, ia pernah bercerita padaku disaat aku benar-benar sedih dan putus asa, ia tulis dalam sebuah surat  yang ia tulis untukku. Kau benar Ahmad Ali Yusuf, engkau benar. Semoga Allah mempertemukan kita dalam keadaan bahagia. Amiin



.
Untuk Aisyah,
Di tanah penuh berkah.

Assalamu’laikum ukhti..
        Mungin saat kau membaca surat ini, entah aku telah berada dimana. Namun kesedihan dan keputus asaanmu selalu mengiang-ngiang di kepalaku. Kau pernah berkata, hidup ini tidak adil, kau tidak pernah merasakan kebahagiaan, kebebasan, seperti warga dunia yang lain yang hidup normal. Ingatlah ceritaku ini Ukhti!
        Aku tinggal dan besar di Amerika, tanah yang orang-orang sebut sebagai surge dunia. Ya.., memang disna adalah surge dunia, tidak adak aturan-aturan yang mengikat dan hak asasi manusia sangat di junjung tinggi. Disana bebas.., benar-benar bebas.., disanalah surge, dimana tak ada batasan untuk berpakaian, laki-laki an perempuan tidak ada batasan. Nikmatkan Aisyah? Tapi kau tahu…, itulah racun dunia yang akan membawaku pada api neraka yang menyala. Jadi kesimpulannya, Ukhi. Nikmat yang sangat nikmat adalah nikmat iman islam yang sekarang kau rasakan di tanah yang penuh akan sejarah tentang nabi-nabi Allah.
        Aisyah…, semoga kau mengerti semua ini. Semoga Allah selalu melindungi kita semua, Amin. Aku berharap kita bias bertemu lagi di surge, kelak. Wassalam.

Yang menyayangmu…,
Ahmad Ali Yusuf (Benzamin Traver)