keep your dream, hold it tight

terjatuh itu wajar, namun jangan terlalu lama tersungkur. berjalanlah walau harus tertatih :)

Rabu, 30 November 2011

Malam 27 November 2011

Entah mengapa aku suka atmosfir ini. Duduk di atas balkon teras, memandangi cahaya kilat yang memantul mewarnai lantai yang basah. Aku suka menemani hujan yang sedang menangis tersedu-sedu. Aku suka melihat amukan petir yang murka. Takkan ku hiraukan desiran angin yang menikam bagai belati, karena malam ini langitpun bersedih hati. Ku akui aku takut, karena amukan petir tak pernah bersahabat, namun tetesan berjuta kubik air itu adalah simfoni yang indah, sebuah maha karya dari sang penguasa. Sekali lagi, aku suka malam ini.

tugas


Unsur-Unsur Resensi
Kelengkapan
Uraian
1.       Identitas buku
a.       Judul


b.      Nama Pengarang


c.       Kota dan nama penerbit


d.      Edisi penerbitan


e.      Tebal buku


2.       Ringkasan cerpen
3.       kepengarangan
a.       latar belakang


b.      kepenulisan


c.       karya-karyanya


d.      gaya pengarang


4.       Keunggulan dan kelemahan
a.       Tema


b.      Amanat


c.       Alur


d.      Penokohan


e.      Latar


f.        Bahasa


Kesimpulan dan saran

Sabtu, 26 November 2011

Cerita Di Tanah Gaza


 Malam itu, bom-bom terus bernyanyi, itu adalah malam kesekian kalinya aku takut untuk tertidur. Entahlah, aku sudah lupa bagaimana rasanya tertidur dimalam yang sunyi, malam yang gelap, malam dimana ada seribu bintang, malam dimana ada seribu satu mimpi. Kini malam menjadi penuh suara yang membisingkan telinga, bahkan langit pun selalu bercahaya. Jantungku seakan berlari manakala terdengar jelas suara pesawat perang milik Zionis yang berterbangan. Kau tahu, mereka bisa menjatuhkan meriam dimana saja dengan alasan disini ada Hamas, disitu ada Hamas dan apa peduliku.
            Masih teringat jelas dalam ingatan, di pagi hari disaat Maher, kekasih hatiku pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Pagi itu adalah pagi yang sangat menyakitkan dan tak akan pernah terlupakan dalam hidupku untuk selama-lamanya. Saat itu situasi begitu genting, para Zionis yang keji dan kejam terus memuntahkan rudal-rudal, sementara daratan dipenuhi dengan meriam-meriam. Maherku yang pemberani keluar dari rumahnya yang tak jauh dari tempatku dan keluargaku tinggal. Dengan gagah dan tanpa gentar sedikitpun, ia berjalan membusungkan dada dengan wajah penuh kemurkaan, wajah yang belum pernah aku lihat sebelumnya, wajah yang selalu bersembunyi di balik halus tatapannya, wajah yang baru ku tahu di balik ketampanannya. Ia menengadahkan kepalanya ke langit, mata hijaunya yang tajam tepat mengarah ke pesawat yang berlalu-lalang.
“Demi Allah…, aku akan melawan kalian manusia-manusia keji. Tunggulah azab dari Allah, Tuhanku!!!” Teriaknya dengan suara yang lantang, suara yang tegas, suara yang membuat sekujur tubuhku merinding, suara yang tersembunyi dibalik lembut ucapannya.
“Aku tak takut pada kalian, Zionis-zionis keji!!!” Maherku terus berteriak.
            Aku tercengang, saat itu aku tak mengenalnya. Ia sangat berbeda, ia..,ia.. lebih menakjubkan. Aku melihat kepedihan dimatanya : ia menangis. Aku khawatir padanya, aku khawatir akan apa yang dilakukannya. Aku berteriak sekuat tenaga, dibalik jendela kamarku.
“Ya…. Maher, ya… Habibi,  kembalilah kerumahmu. Demi Tuhan aku akan sangat menyesal jika sesuatu terjadi padamu Maherku…!!!” Ia tak mendengarkanku, untuk pertama kalinya ia mengabaikan kata-kataku. Namun tak lama kemudian matanya menatapku, dan ia menjawab “Ya… Aisyah, aku tak akan membiarkan para bedebah-bedebah it terus mengusik hidup kita. Aku ingin hidup tenang bersamamu, bersama anak-anak kita , kelak. Bagaimana itu bisa terjadi jika mereka masih berada di tanah kita, tanah Palestine.” Belum sempat aku menjawabnya, sebuah meriam mendarat tepat di badannya yang tegap. “MAHERRRR……” Aku berteriak, aku menangis, aku akan mati, aku tak bisa bernafas. Aku berlari menuju pintu keluar, namun ibuku datang, ia memelukku “Aisyah… jangan engkau keluar saying. Ibu tak ingin hal itu terjadi kepadamu” Katanya sambil mengusap punggungku.
“di luar…, disa..na.. Ma..Ma..herku ibu, Maherku telah HANCURRRR….!!!”aku masih histeris, suaraku tersedu-sedu, rasanya ada belati menusuk jantungku: SAKIT. Bagaimana tidak, orang yang aku sayingi dalam hidupku hancur berkeping-keping menjadi onggokan daging. Ia mati, ia hancur, ia terbunuh DI DEPAN MATAKU SENDIRI.
            Ridwan, adikku turun dari ranjangnya, ia memanggilku dan seketika lamunanku terbuyarkan. Ia berdiri disampingku, mengikuti arah mataku memandang : jendela. “Kakak…, kau menangis? Kau takut dengan penjahat-penjahat itu?” tangan mungilnya menunjuk pada langit yang ramai akan pesawat yang berterbangan. Ia masih berusia 5 tahun, tapi ia cukup dewasa  dalam menghadapi hidup kami yang seakan terteror. Aku yang sedari tadi berdiri, dengan perlahan duduk diatas ranjang adikku. Aku memeluknya.
 “Kakak hanya teringat ayah dan ibu”
“Kakak.. aku takut. Mereka jahat.” Ucapannya dalam pelukku.
“Jangan takut saying… percayalah Allah akan melindungi kita. Sekarang tidurlah” aku merebahkan kembali dia ke ranjangnya. Ridwan memejamkan matanya, namun tangannya menggenggam erat tanganku.
“Kakak.. kapan semua ini akan berakhir?” Malaikat kecil itu bertanya lagi, namun matanya masih terpejam. Air  mataku tumpah, tak tertahankan. Betapa malangnya adikku. “Berdo’alah sayang, berdo’alah agar penjahat-penjahat itu segera pergi dari sini!” jawabku sambil mengusap air mata yang mulai menetes di kedua matanya yang masih terpejam.
“Kak.., beritahu aku, dimana ayah dan ibu?” Ia bertanya lagi, namun sekarang matanya telah terbuka.
“Mereka ada di tempat paling indah di sisi Allah.” Jawabku.
“Dimanakah itu?” ia bertanya lagi.
“Di tempat yang disebut Surga.” Jawabku lagi.
“Apa itu Surga?” Ia terbangun dan duduk
“Surga adalah seindah-indahnya tempat di sisi Allah. Dimana di dalamnya tak ada kesusahan…” Jawabku.
“Apa semua orang bisa masuk surga?” Matanya menatap kearahku.
“Tidak sayang, hanya orang-orang yang baik, sabar, mematuhi perintah Allah-lah yang akan tinggal disana.”
“Lalu mereka, orang-orang jahat itu. Dimana Allah akan menyimpan mereka?” tanyanya lagi.
“mereka akan disimpan di tempat seburuk-buruknya Neraka. Tempat yang penuh dengan api yang akan membakat tubuh mereka.” Jawabku
“Aku mau ke Surga Kak…” Ia melingkarkan tangannya di penggangku.
“iya sayang… kau akan kesana. Kau adalah anak baik, jadilah anak yang soleh.” Aku memeluknya dan mengecup keningnya yang basah akan keringat.”Sekarang, tidurlah!” lanjutku. Ia tak mengucapkan sepatah katapun, ia hanya menganggukkan kepalanya. Ia pun tertidur, entah terlelap atau tidak, karena suara-suara bising masih terdengar jelas di luar sana.
            Aku menatap adikku. Ia telah tertidur, ia telah berada di alam yang hanya di pemiliknya : alam mimpi. Aku tahu, dalam kenyataan, ia tak dapat melengkungkan bibirnya sekedar untuk tersenyum. Namun, malam ini ia tersenyum dalam tidurnya, senyum yang sangat indah, senyum yang entah kapan lagi aku bisa melihatnya. Aku berdoa agar Allah memberikan ia mimpi yang sangat indah, mimpi yang akan membuat ia terlupa dengan beban hidupnya. Aku membuka kerudungku, ku arahkan langkah menuju kamar mandi : ku ambil air wudhu.
***
            Aku menatap wajahku di cermin, terlihat wajah yang pucat, mataku berkantung dan sembab, ku maklumi karena kurang tidur. Ridwan masih tertidur, jelas saja karena semalam ia tidur larut sekali. Pagi itu tak seperti biasanya, ada sesuatu yang berbeda, bahkan sangat berbeda : terasa damai. Aku bertanya pada hatiku, apakah semuanya telah berakhir? Apakah Hammas telah menang?
            Saat itu, hanya berita dari TV-lah yang bisa menjawab semua pertanyaanku. Aku menghidupkan TV, mencari-cari channel berita. “Dapat!!!” Kataku setelah menemukan berita yang ku inginkan. Aku pun membesarkan volumenya.
Gaza News :
            Setelah dewan keamanan PBB mengadakan perundingan beberapa waktu silam, akhirnya tepat pada pagi tadi PBB mengumumkan hasil dari perundingan. Sekjen PBB mengumumkan pada Palestine dan Israel untuk melakukan gencatan senjata, mengingat banyak warga sipil yang menjadi korban. Keputusan itu sangat mengecewakan bagi kedua belah pihak teutama masyarakat Palestine yang sudah sangat resah. “Konflik ini sangat pelik, tidak mudah untuk menyelesaikannya” Ujar Ban Ki Moon yang tak lain adalah Sekjen PBB saat ini. Dewan keamanan ber…
                Dengan kesal kumatikan TV itu. Bodoh sekali aku telah berfikiran bahwa konflik yang telah merenggut orang-orang yang ku sayangi ini telah usai. “Aisyah…, asal kau tahu saja, PBB tak akan pernah bias memecahkan masalah kita selama Dewan keamanan masih berpihak kepada Israel.” Ujar sebuah suara dari balik pintu dapur, yang tak lain adalah suara Bi Nuroh, bibiku sekaligus keluargaku yang masih tersisa selain Riwan, adikku. Aku tak menjawab sepatah katapun. Dengan perlahan namun pasti, aku bangkit dari dudukku dan berjalan kearah kamar Ridwan. Ia masih tertidur, dengan perlahan aku membuka jendela kamar dan seketika sinar mentari pagi membanjiri ruangan. Riwan terbangun dengan mata yang ditutupi tangan mungilnya, “Silau…” ujarnya. Aku hanya tersenyum kearahnya.
“Apa ceritamu pagi ini?” Tanyaku padanya, pertanyaan yang selalu ku ajukan.
“Kau tidak akan percaya akan mimpiku tadi malam, Kak!!” Katanya dengan riang.
“Apa yang kau impikan?” Tanyaku penasaran.
“Aku menyusuri jalanan yang indah. Di sana damai dan sejuk sekali. Rumput-rumput begitu hijau dan bunga-bunga indah bermekaran. Tempat itu seperti sebuah taman…., taman yang sangat indah, dan tahukah kau ada siapa disana?” tanyanya yang ku balas dengan sebuah gelengan kepala.
“Disana ada Ayah dan Ibu, mereka melambaikan tangan padaku “Ridwan… kemarilah!!!” seru mereka padaku. Aku berlari kearah mereka. Aku memeluk ibu dan rasanya seperti ada di pelukanmu Kak, terasa begitu hangat dan nyaman.” Ridwan berhenti bercerita. Aku mengangkat kedua alisku yang mengisyaratkan : lanjutkan. Tak lama, Ridwan pun melanjutkan ceritanya.
“Ibu menanyakan kabar kita. Aku mengatakan semua yang terjadi, semuanya… semuanya… tentang penjahat-penjahat itu, Kak. Ibu memelukku dan menangis, ia menyuruhku untuk tetap tinggal disana bersama mereka.”
“Lalu apa jawabanmu?” Tanyaku.
“Aku akan minta izin padamu, Kak. Setelah itu semuanya hilang.. aku tidak bisa melihat apapun, rasanya silau dan akhirnya aku terbangun.” Ia mengakhiri ceritanya.
“Aku harap nanti malam aku yang akan bermimpi seperti itu” Kataku sambil memeluk adik kesayanganku.
***
            Sudah beberapa hari aku bisa merasakan kedamaian. Aku tahu ini bukanlah akhir, melainkan hanya sebuah gencatan senjata yang hanya sementara. Namun aku tak pernah berhenti berharap, karena harapan adalah penyambung nafas kehidupanku, harapan adalah jiwa dlam hari-hariku yang terasa telah mati, aku selalu berharap di pagi hari saat ku buka kedua mataku, perang telah selesai, aku bisa hidup seperti warga dunia yang lain : sekolah, berkumpul bersama keluarga, bermain bersama sahabat, hidup sebagaimana remaja pada umumnya.
            Aku bersiap-siap untuk pergi ke pasar Gaza, yaa.. itu adalah hal yang paling aku sukai karena aku bisa beremu dengan teman-temanku. “Bi…, aku berangkat. Assalamu’alaikum!” Sahutku sambil mengendarai sepeda kesayinganku. “ya…, hati-hati di jalan, nak!” jawab sebuah suara dari dalam rumah yang ku tahu itu adalah suara lembut Bi Nuroh.
            Alhamdulillah, tak hentinya aku memanjatkan syukur kepada Allah yang telah memberikan kedamaian di kotaku, Gaza. Pasar terasa berbeda dari sebelumnya. Kali ini banyak sekali orang yang datang, sekedar berjalan-jalan atau membeli bahan makanan sama sepertiku.
“Assalamu’alaikum Ukhti…!” Sahut sebuah suara lembut di samping kiriku.
“Wa alaikum salam..” Dengan sedikit terkejut aku menjawab dan menengokan kepalaku ke arah suara itu.
“Subhanallah… Fatimah.. apa kabar?” lanjutku dengan girang.
“Alhadulillah baik Ukhti, Ukhti sendiri bagaimana? Lama tak berjumpa, kau semakin cantik saja.” Jawab Fatimah yang tak lain adalah teman lamaku.
            Aku dan Fatimah berbelanja bersama sambil berbincang-bincang tentang segala hal, termasuk saat aku kehilangan Maher. Tak lama kami berbincang, sebuah dentuman yang sangat keras menggemparkan manusia seisi pasar Gaza. “Astagfirullahalaziim…., apa itu?” Sahut sebuah suara dari kejauhan. Jantungku berdebar keras sekali, ada apa ini, apa yang terjadi, suara apa itu, hatiku terus bertanya-tanya. “Apa yang terjadi tuan?” Tanyaku pada seorang yang tengah berlari dari arah pemukiman penduduk menuju ke pasar. “Ten..ten.. tentara Zionis telah memporak-porandakan pemukiman penduduk.” Jawab pria tua itu dengan tersengal-sengal. Mendengar hal itu, Fatimah yang berdiri di sampingku langsung berlari tanpa mengucapkan salam sedikitpun, ia begitu tergesa-gesa, wajahnya penuh kekhawatiran. Pikiranku melayang jauh, terlintas wajah Ridwan dan Bibi Nuroh di kepalaku. Bagaimana dengan keadaan mereka? Aku berlari menuju sepedaku yang tegeletak di pasir. Entah mengapa air mataku bercucuran.
            Aku telah sampai dirumah, bukan… bukan rumah, tapi sebuah tempat dengan puing-puing. Jantungku seakan berhenti berdetak, dadaku sesak sekali rasanya aku tak bisa bernafas. Kutemukan tubuh adikku bercucuran darah : TAK BERNYAWA. Tubuhnya tertindih reruntuhan tembok yang mampu meremukan tulangnya. Sementara itu, Bi Nuroh, Bibiku…, ia tergeletak dengan kerudung yang bewarna merah : darah.
“Bi, bangun!!!!” teriakku sambil memangku kepalanya. Aku tahu, semuanya adalah sia-sia, mereka telah pergi dan Ridwan, ia telah pergi meninggalkanku sendiri.
“Sayang… bangun!!” Bisikku di telinga Ridwan, aku begitu frustasi.
            Ada seorang lelaki berwajah Asia menghampiriku, entah siapa dia. Aku hanya melihat sebuah tulisan menggantung di dadanya : RELAWAN.
come with me, this place is not safe for you. I'll take you to the place of refuge. come on!!” katanya padaku, sambil mengangkat tubuhku.
            Aku ikut bersama lelaki itu, tak tahu kemana lagi aku akan pergi. Namun, ia… lelaki yang baik itu membawaku ke tempat pengungsian.  Saat itu aku tahu, mereka, para Zionis itu adalah orang, bukan… bukan orang, tapi monster yang telah membunuh keluargaku. Aku sendiri, benar-benar sendiri di padang yang fana ini, di tanah Gaza yang gersang.

~END~

Sabtu, 05 November 2011

SEBUAH PERTANDA

Aku berjalan menyusuri jalanan aspalyang penuh akan gemercik air hujan. Kabut tebal menutupi jalanku, dan hujan bertambah deras. Aku merasakan sekujur tubuhku lemas, seluruh tulangku terasa hancur, namun entah mengapa ada kekuatan besar yang mampu memaksaku untuk terus berjalan tegak. dengan kedua tangan bersilang di dada : Kedinginan. Diantara ribuan gemercik air yang jatuh, aku bisa mendengar jelas gemertak gigiku beradu menggigil.

Dalam dinginnya air hujan yang memenuhi tubuhku, aku merasakan aliran air hangat keluar dari mataku, mengaliri pipiku, dan jatuh menetes berbaur dengan kubik air : aku menangis. Telah jauh aku berjalan, namun jalanan aspal itu seperti tak berujung. Sementara kabut dan hujan masuh enggan untuk lenyap. Aku mulai merasa kedinginan, sangat dingin, namun ada perasaan lain yang mampu mengalihkanku dari tusukan pisau es yang di kulitku. Perasaan yang tak bisa kujelaskan "APA???". Rasanya ingin sekali aku berteriak sekencang mungkin dan berlari secepat pelari maraton, sayangnya aku telah berubah menjadi gagu, aku serasa mati rasa dan lemas.