Orang bilang hidup gadis itu amat membosankan, dari mulai kesehariannya di rumah sampai di sekolah. Gadis manis berkulit putih dan berambut ikal itu bernama Jessica Sam yang hidup dalam sebuah keluarga yang harmonis dan sebagai anak tunggal dalam keluarganya, semua terasa seperti sempurna, tapi sayangnya ia tinggal di rumah yang jauh dari keramaian orang-orang, jelas saja karena ia tak punya tetangga. Setiap harinya hanya kendaraan saja yang berlalu lalang di depan rumah. Kadang juga banyak orang yang bekumpul di pinggir rumah, itu terjadi jika ada kecelakaan lalu lintas saja.
Ayah dan bundanya sangat menyayangi dirinya, mungkin karena Jessi anak tunggal. Tapi Jessi berpikir semua sudah tak sewajarnya lagi, ayolah umurku gadis itu sudah 16 tahun, Jessi menggap dirinya bukan lagi gadis kecil yang yang mengunyah permen karet hingga tertelan. Mereka membatasi dengan siapa Jessi bermain, menjadwal semua kegiatannya, hingga melarang Jessi untuk pacaran. Teman-temannya mengerti, andai mereka menjadi seorang Jessica.
Hari ini ayah dan bunda berencana pergi ke suatu tempat, entah pergi kemana.
“Jessi, ayo cepat sedikit !” Ayah sudah memanggilnya.
“Iya, yah.” Sahut Jessi.
Jessi menghampiri ayah dan bundanya yang sudah stand by di dalam mobil, dan Jessi duduk di belakang mereka. Ia hanya menghindar dari mereka agar tak banyak membicarakan hal-hal yang tak penting tentangnya, seperti menceritakan masa kecilnya dulu, Jessi merasa bosan mendengar cerita itu berulang-ulang.
“Jessi……..” Belum sempat bunda selesai bicara.
“Jangan suruh aku nyanyi naik-naik ke puncak gunung!” Sudah tertebak apa yang akan dikatan bunda.
“Lho….memangnya kenapa? Waktu dulu kamu sering sekali menyanyikannya di mobil.” Ayah mengulang kembali masa kecil Jessi.
“Ayah, itu kan dulu. Sekarang udah beda donk.”
“Lho apa bedanya? Dulu sama sekarang sama saja, kamu tetap anak ayah dan bunda.” Bunda selalu bersekongkol dengan ayah.
“Apa kalian lupa? aku ini 16 tahun. Aku sudah remaja, aku bukan gadis kecil kalian lagi.” Jessi kesal bila harus selalu mengingatkan mereka.
“Ayah juga mengerti kok, Jessi.”
“Benarkah ? Lantas?” Jessi sempat merasa lega akhirnya ayah mengerti.
“Lantas, ayah akan semakin menjaga mu. Agar kamu tidak salah pergaulan.”
“Sungguh bukan itu jawaban yang ingin ku dengar.” Itu menjadi obrolan yang terakhir. Sepanjang jalan Jessi hanya diam dan telinganya ditutup dengan headset, ia hanya mendengarkan lagu di iPodnya yang bisa membuatnya lebih tenang, hingga ia mulai ketiduran. Memang hanya iPod itu yang selalu menenagkannya.
“Jessi, bangun !!!” Seperti suara bunda yang terdengar.
“Jessi, ayo bangun sayang.” Suara halus ayah terdengar lebih merdu lagi, mebuatnya terbangun.
“Iya, kita dimana?” Perlahan Jessi mulai membuka mata, seperti istana di depan mata.
“Rumah siapa ini, yah?” Sambil brjalan Jessi menghampiri ayah dan bunda yang berdiri di depan rumah yang asing.
“Ini rumah kita, kamu suka ?” Seperti harta karun yang baru di berikan ayah pada Jessi.
“Benarkah, yah? Lalu kapan kita pindah ke Istana ini ? Bagaimana nasib rumah kita ?”
“Tentu saja, besok pun kita bisa pindah kalau kamu mau. Rumah kita ayah jual, karena ada yang menawar mahal. Rumah kita cukup strategis untuk dijadikan proyek seseorang.”
“Akhirnya mimpi jadi kenyataan, aku tak harus menunggu sampai tua untuk pindah dari rumah. Melihat rumah yang baru saja ayah beli ini, rasanya memang seperti istana bagi ku. Ukuranya tak terlalu sempit dan tak terlalu luas, cat temboknya berwarna cream, tiangnya berwarna putih, bertingkat, tapi dalam tingakatan itu sepertinya Cuma ada satu kamar saja. Yang membuat ku semakin terpesona adalah halaman depan yang ditumbuhi rumput hias, bunga-bunga dan tanaman hias lainnya. Dan aku semakin jatuh cinta dengan rumah itu saat ku lihat di pinggir rumah masih berjejer rumah yang lain, itu berarti sekarang aku punya tetangga.” Dalam hati Jessi merasa kegirangan.
Setelah melihat-lihat keadaan rumah itu, mereka pun pulang ke rumah yang mesti secepatnya ditinggalkan.
“Bun, kalau aku pindah ke rumah itu, terus aku makin jauh donk berangkat sekolahnya ?” Hal yang Jessi harus tanyakan sebelum waktu tidurnya terpotong karena jarak sekolah.
“Di daerah rumah itu ada sekolah juga kok, dan kebetulan ayah kenal dengan kepala sekolahnya.” Sahut bunda.
“Ayah juga sudah atur sebelumnya dengan kepala sekolah.” Semua seperti sudah dipersiapkan matang-matang sebelumnya.
Saking senangnya, berbeda saat berangkat tadi, kini Jessi hanya tersenyum dan tak banyak bicara. Ia merasa begitu bersyukur atas hari ini. Sesampainya di rumah, karena tak sabar ingin hari esok segera datang, ia pun membereskan semua barang-barang yang ada di kamarnya untuk simpan di kamarnya yang baru. Sementara itu, ayah dan bunda ikut sibuk membereskan barang-barang di rumah. Hingga larut malam, semua persiapan akhirnya selesai.
“Jessi, ayo tidur, jangan sampai kamu besok telat.” Bunda selalu mengecek ke kamar.
“Itu gak bakalan terjadi, aku ak mau kalau sampai telat pindah, semenit pun aku gak mau.”
Akhirnya ibu pergi meninggalkan kamar ku setelah memastikan aku tak akan bangun telat. Tapi sebelum aku tidur, aku ingat teman-teman ku, aku sms mereka semua, ku ucapkan kata pamit. “Untuk Eren, Metty, Sandra, dan Keysha sahabat ku, kita pasti akan merindukan masa-masa saat kita bersama.” Mereka semua membalas sms ku dengan sangat berat ku rasa. Stelah selesai smsan, akhirnya rasa ngantuk mulai mengunci mata ku.
Sepertinya, hal yang terberat bagi Jessi adalah ia harus meninggalkan teman-temannya.
Keesokan harinya, mata hari belum sepenuhnya muncul, tapi Jessi sudah terbangun. Ia beranjak dari tempat tidur dan membangunkan ayah dan bunda.
“Kamu kok udah bangun, Jess?” Ayah terheran karena Jessi bangun tak seperti biasanya.
“Cepetan bangun, yah! Entar rumah kita keburu ditemapatin orang.”
“Ngaco kamu, mana ada rumah udah dibeli diambil orang, enak aja.”
“Ya, makanya cepetan bangun!”
“Hari ini kamu lebih cerewet dari bunda, ya.” Ejek bunda.
Semuanya mulai beranjak dari tempat tidur, setelah ku tarik-tarik. Semua bergegas. Selesai mandi, kemudian kita sarapan. Semua barang sudah dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Ayah langsung tancap gas, dan menuju ke rumah idaman ku.
“Yah, apa tetangga kita pada baik gak yah ?” Tanya ku mulai ngawur.
“Tentu saja.” Jawab ayah singakat karena sedang mengemudi.
“Kalau kamu baik, sopan, dan juga ramah. Pasti semua tetangga kita akan bersikap seperti itu juga sama kita.” Bunda menambahkan.
“Oh……..” Aku mulai sedikit memahami tentang tetangga, semoga aku dapat tetangga yang baik.
“Sebentar lagi nyampe.” Seru ayah membuat ku semakin berseri-seri.
“Asik…..asik….rumah baru.” Tak terasa ternyata rumah yang ku anggap seperti isatana sudah ada di hadapan ku.
“Ayo turun ! Ayah masukin mobilnya dulu ke garasi.”
Bunda mulai membuka pintu dengan kunci yang digenggamna sedari tadi. Saat pintu terbuka, aku lah yang pertama masuk ke rumah. Satu persatu barang-barang yang sudah kita bawa di atur lagi letaknya, hingga tersusun rapih.
“Jessi, kamar kamu ada dia atas, jadi kamu beres-beres saja di kamar kamu, kau bisa sendirikan ?” Kata bunda sambil menghawatirkan ku.
“Tentu saja aku bisa. Biar ku atur saja sendiri, tenang saja bun.”
Aku berjalan ke atas dan menghampiri pintu kamar ku, ku buka dan ku lihat kamarnya masih polos dan rapi sekali. Hanya ada tempat tidur, meja belajar, lemari baju, ada kamar mandi pula di dalamnya, dan yang mengejutkan ada jendela yang kebetulan berhadapn dengan jendela kamar tetangga ku. Semoga itu bukan kamar sepasang pengantin. Satu-persatu mulai ku tata rapih barang-barang ku.
“Jessi, udah selesai belum beres-bersnya?” Suara ayah memanggil ku dari bawah.
“Udah ayah,udah.” Sahut ku.
“Kalau udah, cepet mandi, ganti baju, terus makan ya, nak!”
“Iya, ayah ku.”
Aku turuti apa kata ayah, seltelah selesai mandi dan ganti baju, aku langsung turun dan menuju ke ruang makan.
“Ayo, makan dulu, bunda baru selesai masak, masih anget lho.” Bunda menggoda selera makan ku.
“Ok…ok…ok…eh, ayah kemana bu?” Aku baru sadar ayah tak ada.
“Ayah pergi mengurus surat-surat rumah.” Jelas bunda.
Aku tak bertanya lagi, karena masakan bunda mulai ku lahap.
“Selesai makan, kamu kasihin kue ini ke tetangga kita, ya.” Perintah bunda.
“Tetangga kita yang sebelah mana bun, kan banyak?” Tanya ku sambil kebingungan.
“Yang dipinggir kanan rumah kita.” Pasti yang bunda maksud adalah rumah yang jendela kamarnya bersebelahan dengan jendela kamarku.
“Ok….ok…..ok.”
Tak lama kemudian aku selesai makan, dan aku pun harus memberikan kue seperti apa yang sudah dikatakan bunda.
Aku berjalan ke luar, dengan jarak 6 langkah, aku sampai di rumah yang dimaksudka ibu.
“Permisi.” Sambil mengetuk pintu.
“Iya sebentar.” Suara seorang laki-laki menyahut dan membukakan pintu,
“In…………….” Belum selesai aku bicara, laki-laki itu malah berteriak.
“Mah…….ada yang jualan kue ni.” Iya kembali masuk ke rumah, dan meninggalkan ku berdiri di depan pintu.
“Eh……tetangga baru ya? Maf belum sepet ke rumah ya.” Sapa seoarang ibu, yang di panggil mama oleh lelaki tadi.
“Iya, gak apa-apa kok tante, ini ada sedikit kue dari bunda.”
“Aduh pake repot-repot segala, ayo masuk dulu yu….! Tante juga ada sesuatu buat bunda kamu, ayo duduk dulu!” Ajak wanita itu.
“Baik, tante.” Aku mengiyakan permintaannya, sementara aku duduk iya meniggalkan aku ke dapur. Tiba-tiba seorng laki-laki lewat dan naik ke ruangan yang di atas, aku sempat tersenyum, tapi tak ditanggapinya. Tak lama kemudian tante datang menghampiri ku sambil membawa toples yang ku bawa sudah terisi lagi kue yang berbeda.
“Ini, kue nya pasti gak seenak buatan bunda kamu.”
“Ah….enggak kok tante, punya tante pasti jauh lebh enak.”
“Oh….iya, ngomong-ngomong nama kamu siapa?”
“Nama aku Sam Jessica, panggil saja aku Jessi tante.”
“Bagus sekali namanya, nama tante Mona, panggil tante Mona aja ya.”
Tiba-tiba suara rebut-ribut terdengar dari tangga. Dua orang laki-laki rupanya sedang menguping.
“Itu anak-anak tante, ayo Kevin, Vino, sini!” Perintah tante dengan nada yang sedikit kesal.
“Iya, mah.” Mereka menuruti apa kata mamanya.
“Jessi.” Aku mengulurkan tangan untuk berjabatan.
“Kevin.” Laki-laki bertubuh tinggi, kulitnya putih, stylenya cool, umrnya sekitar 19 tahunan.
“Alvin.” Laki-laki ini tubuhnyasedilit lebih tinggi dari ku, mirip seperti Kevin, tapi wajahnya sedikit lebih manis.
“Kevin ini kakanya Vino.” Ujar mama mereka.
Tiba-tiba hp ku berbunyi, dan ternyata bunda yang menelpon ku, segera aku angkat.
“Iya, hallo bunda, aku masih di rumah tante Mona. Iya aku pulang, bun.” Bunda mulai cemas.
“Ada apa Jess ?” Telepon tadi sepertinya membuat tante Mona ikut cemas.
“Enggak kok tante. Tante, aku pamit dulu ya.” Terlalu lama di rumah orang memang tidak enak juga.
“Oh, iya. Makasih ya kuenya, salam buat bunda ya.”
“Iya, tante. Mari tante, Kevin, Alvin, aku pamit ya.”
“Sering-sering main kesini ya!”
“Iya, tante.” Jessi segera pulang ke rumah, sebelum bunda semakin cemas.